4 Ciri Orang Terpapar Radikalisme Versi Aswaja Center Kota Blitar

35 Dilihat
banner 336x280

Dari data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyatakan seluruh kampus, baik perguruan tinggi negeri maupun swasta berpotensi terpapar radikalisme. BNPT sudah melakukan pemantauan penyebaran radikalisme di seluruh lembaga pendidikan.

Sudah menjadi fakta sejarah, bahwa empat hal ini: kepala plontos, jidat hitam, jenggot panjang dan celana cingkrang dianggap menjadi ciri-ciri muslim radikal, meskipun ada muslim non-radikal yang memilikinya. Anggapan itu terbentuk jauh sebelum ada Khawarij sebagai cikal bakal kelompok muslim radikal, karena ciri-ciri itu sudah disinyalemenkan oleh Rasulullah SAW dalam haditsnya. Oleh karenanya,  Aswaja Center Kota Blita melalui  berbagai forum selalu berupaya menghalau gerakan radikalisme. Faham radikalisme yang jika dibiarkan bertumbuh kembang akan mengancam eksistensi faham Ahlussunnah Waljamaah dan keutuhan NKRI.

banner 468x60

Berikut identifikasi ciri fisik orang yang terpapar faham radikal versi Aswaja Center Kota Blitar;

PERTAMA : KEPALA PLONTOS

Jika maksud dan tujuan berkepala plontos untuk syiar agama atau menganggap hal itu sebagai ibadah, seperti yang dilakukan para pendeta Budha, maka ini termasuk perbuatan bid’ah. Demikian juga jika menjadikan kepala plontos sebagai tanda kesempurnaan zuhud atau kesempurnaan dalam ibadah, sampai menganggap orang yang berkepala gundul lebih afdol daripada orang yang tidak berkepala gundul, termasuk pula menganggap bahwa taubat itu mesti dengan menggundul rambut, maka ini semua termasuk bid’ah yang tidak diperintahkan oleh Allah. Hal seperti itu tidak dianggap wajib atau sunnah oleh para ulama, dan tidak pernah dilakukan oleh para sahabat, tabi’in, dan para ulama yang zuhud dan ahli ibadah.

Di masa silam, menggundul habis rambut kepala adalah syiar Khawarij yang biasa menggundul habis rambut kepala mereka. Sebagian mereka menganggap bahwa menggundul kepala seperti itu adalah tanda sempurnanya taubat dan ibadah. Dalam hadits yang shahih dari Imam Bukhari sebagai berikut :

عن أبي سعيد الخدري عن النبي صلى الله عليه وآله وسلم قال: يخرج ناس من قبل المشرق يقرأون القرآن لا يجاوز تراقيهم يمرقون من الدين كما يمرق السهم من الرمية ثم لا يعودون فيه حتى يعود السهم إلى فوقه قيل ما سيماهم قال : سيماهم التحليق. رواه البخاري

Dari Abi Said Al-Khudri dari Nabi SAW, beliau bersabda : “Akan lahir kelompok manusia dari arah timur, mereka membaca Al-Qur’an tetapi isi Al-Qur’an tidak melewati tenggorokan (tidak masuk ke dalam hati) mereka, mereka lepas dari agama sebagaimana anak panah lepas dari binatang buruan yang tertembus panah, mereka tidak akan kembali ke dalam agama, sehingga anak panah kembali ke atasnya (lubang yang ditembusnya)”, Nabi ditanya : Apa tanda-tanda mereka, Nabi menjawab: “Tanda-tanda mereka adalah kepala plontos”. (H.R. Bukhari).

Oleh karena itu, tidaklah benar pengakuan sekelompok muslim yang menganggap bahwa kepala plontos atau gundul itu termasuk sunnah Rasul. Dengan berdasarkan kepada hadist di atas, justru kepala plontos atau gundul tanpa alasan tahallul haji atau umroh, atau alasan sakit atau sejenisnya, merupakan identitas Muslim Radikal.

KEDUA : JIDAT HITAM

Satu lagi ciri khas yang digunakan “Muslim Radikal” dan dianggapnya sebagai sunnah Rasul, yaitu jidat hitam. Memang di dalam Al-Qur’an ada ayat yang menerangkan tanda-tanda pada wajah yang menjadi ciri-ciri kaum mukminin yang menjadi pengikut Rasululloh SAW, yaitu firman Allah sebagai berikut :

سيماهم في وجوههم من أثر السجود

“Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud”.

Menurut Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud tanda-tanda itu adalah akhlak yang baik, menurut Mujahid, yang dimaksud adalah sikap tawadlu’, menurut ahli tafsir yang lain adalah khusyuk, dan menurut As-Suddi bahwa orang yang banyak melakukan sholat sunnah maka wajahnya akan menjadi cemerlang.
Dengan demikian, yang dimaksud ‘tanda-tanda’ pada ayat di atas bukanlah jidat hitam. Dan tidak semua orang ahli sholat jidatnya berwarna hitam. Banyak sahabat Nabi yang ahli sholat tetapi jidatnya tidak hitam, sebagaimana riwayat-riwayat berikut ini :

عَنْ سَالِمٍ أَبِى النَّضْرِ قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى ابْنِ عُمَرَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ قَالَ : مَنْ أَنْتَ؟ قَالَ : أَنَا حَاضِنُكَ فُلاَنٌ. وَرَأَى بَيْنَ عَيْنَيْهِ سَجْدَةً سَوْدَاءَ فَقَالَ : مَا هَذَا الأَثَرُ بَيْنَ عَيْنَيْكَ؟ فَقَدْ صَحِبْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمْ فَهَلْ تَرَى هَاهُنَا مِنْ شَىْءٍ؟

Dari Salim Abu Nadhr, ada seorang lelaki datang menemui Ibnu Umar, lalu mengucapkan salam kepadanya. Ibnu Umar bertanya : “Siapakah anda?”, lelaki itu menjawab: “Aku adalah anak asuhmu”. Ibnu Umar melihat ada bekas sujud yang berwarna hitam di antara kedua matanya. Ibnu Umar berkata : “Bekas apa yang ada di antara kedua matamu? Sungguh aku telah lama bershahabat dengan Rasulullah, Abu Bakar, Umar dan Utsman. Apakah kau lihat ada bekas tersebut pada dahiku?” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro : 3698)

عَنْ حُمَيْدٍ هُوَ ابْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ : كُنَّا عِنْدَ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ إِذْ جَاءَهُ الزُّبَيْرُ بْنُ سُهَيْلِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ فَقَالَ : قَدْ أَفْسَدَ وَجْهَهُ ، وَاللَّهِ مَا هِىَ سِيمَاءُ ، وَاللَّهِ لَقَدْ صَلَّيْتُ عَلَى وَجْهِى مُذْ كَذَا وَكَذَا ، مَا أَثَّرَ السُّجُودُ فِى وَجْهِى شَيْئًا

Dari Humaid bin Abdirrahman, aku berada di dekat as Saib bin Yazid ketika seorang yang bernama az Zubair bin Suhail bin Abdirrahman bin Auf datang. Melihat kedatangannya, as Saib berkata, “Sungguh dia telah merusak wajahnya. Demi Allah bekas di dahi itu bukanlah bekas sujud. Demi Allah aku telah shalat dengan menggunakan wajahku ini selama sekian waktu lamanya namun sujud tidaklah memberi bekas sedikitpun pada wajahku” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro : 3701).

Riwayat berikut menggambarkan sahabat Ibnu Umar mencela jidat hitam :

عَنِ ابْنِ عُمَرَ : أَنَّهُ رَأَى أَثَرًا فَقَالَ : يَا عَبْدَ اللَّهِ إِنَّ صُورَةَ الرَّجُلِ وَجْهُهُ ، فَلاَ تَشِنْ صُورَتَكَ

Dari Ibnu Umar, beliau melihat ada seorang yang pada dahinya terdapat bekas sujud. Ibnu Umar berkata, “Wahai hamba Allah, sesungguhnya penampilan seseorang itu terletak pada wajahnya. Janganlah kau jelekkan penampilanmu!” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro : 3699).

Riwayat berikut menggambarkan sahabat Abu Dardak juga mencela jidat hitam :

عَنْ أَبِى عَوْنٍ قَالَ : رَأَى أَبُو الدَّرْدَاءِ امْرَأَةً بِوَجْهِهَا أَثَرٌ مِثْلُ ثَفِنَةِ الْعَنْزِ ، فَقَالَ : لَوْ لَمْ يَكُنْ هَذَا بِوَجْهِكِ كَانَ خَيْرًا لَكِ

Dari Abi Aun, Abu Darda’ melihat seorang perempuan yang pada wajahnya terdapat ‘kapal’ semisal ‘kapal’ yang ada pada seekor kambing. Beliau lantas berkata : “Seandainya bekas itu tidak ada pada dirimu tentu lebih baik” (Riwayat Bahaqi dalam Sunan Kubro : 3700).

Tetapi jidat hitam itu menjadi identitas kaum Khawarij sebagaimana dikatakan oleh sahabat Ibnu Abbas RA dalam riwayat sebagai berikut :

وقال ابن عباس رضي الله عنهما يصفهم حينما دخل عليهم لمناظرتهم: دخلت على قوم لم أر قط أشد منهم اجتهادًا، جباههم قرحة من السجود، وأياديهم كأنها ثفن الإبل، وعليهم قمص مرحضة مشمرين، مسهمة وجهوههم من السهر

Ibnu Abbas berkata : “Aku benar-benar berada di tengah suatu kaum (khawarij) yang belum pernah kujumpai orang yang sangat bersemangat beribadah seperti mereka. Dahi-dahi mereka penuh luka bekas sujud, tangan-tangan menebal bak lutut-lutut unta (Kaplan). Di atas tubuh mereka yang mengelin pakaian itu, ada baju-baju yang kumal. Wajah-wajah mereka pucat pasi karena tidak tidur (menghabiskan malam untuk beribadah)”.

Imam Ahmad As-Showi dalam hasyiyah tafsirnya mengatakan : “Tidaklah demikian, yang dimaksud dalam ayat tersebut tidaklah sebagaimana anggapan orang-orang bodoh dan tukang riya’ yaitu tanda hitam yang ada di dahi, karena jidat hitam itu adalah ciri khas khawarij yang ahli bid’ah”. (Hasyiah As-Shawi 4/134, Dar al Fikr).

Jika jidat hitam oleh ulama dianggap sebagai ciri kaum Khawarij, maka benar adanya jika jidat hitam itu merupakan identitas radikalisme.

KETIGA : CELANA CINGKRANG

Celana cingkrang dipakai oleh sekelompok muslim untuk mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW, karena dalam sebuah hadits Nabi Muhammad SAW bersabda :

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ ثَوْبِي يَسْتَرْخِي إِلاَّ أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ لَسْتَ تَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلاَءَ ، صحيح البخاري، 3392

Dari Abdullah bin Umar RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang memanjangkan pakaiannya hingga ke tanah karena sombong, maka Allah SWT tidak akan melihatnya (memperdulikannya) pada hari kiamat” Kemudian sahabat Abu Bakar bertanya : sesungguhnya salah satu sisi bajuku panjang namun aku sudah terbiasa dengan model seperti itu. Kemudian Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya engkau tidak melakukannya karena sombong”. (a-l-Bukhari : 3392)

Namun istidlal (pengambilan dalil) yang mereka gunakan tidaklah tepat, karena hadits di atas harus dilihat dari substansinya secara lengkap tidak sepotong-potong. Dengan demikian hadist tersebut tidak hanya melarang memanjangkan pakaian hingga menjuntai ke tanah, tetapi melarang penampilan yang sombong dan angkuh. Sifat sombong inilah yang menjadi alasan utama dari pelarangan tersebut. Dan sudah maklum apapun model baju yang dikenakan bisa menjadi haram apabila disertai sifat sombong dan merendahkan orang lain yang tidak memiliki baju serupa.

Pendapat yang dipegang kebanyakan ahli ilmu bahwa hadits tentang larangan memanjangkan hingga menyentuh tanah itu terkait dengan sifat kesombongan. Apabila tidak ada kesombongan maka tidaklah haram.

Di antara ulama madzhab Syafii yang berpendapat demikian adalah Imam Nawawi, Syekh Zakaria Al-Anshori, Imam Romli dan Imam Ibnu Hajar Al-Haitami.

Al-Syaukani menjelaskan : ”Yang menjadi acuan adalah sifat sombong itu sendiri. Memanjangkan pakaian tanpa disertai rasa sombong tidak masuk pada ancaman ini.”

Imam al-Buwaithi mengatakan dalam mukhtasharnya yang ia kutip dari Imam al-Syafi’i, ”Tidak boleh memanjangkan kain dalam shalat maupun di luar shalat bagi orang-orang yang sombong. Dan bagi orang yang tidak sombong maka ada keringanan berdasarkan sabda Nabi kepada Abu Bakar ra”(Nailul Awthar, juz II hal 112). Imam Ahmad bin Hanbal dalam salah satu riwayat berkata : ”Memanjangkan pakaian dalam shalat hukumnya boleh jika tidak disertai rasa sombong”.(Kasysyaf al-Qina`, juz I hal 276)

Oleh karena itu, memanjangkan baju bagi orang yang tidak sombong tidak dilarang. Boleh-boleh saja sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah SAW kepada sahabat Abu Bakar RA. Sedangkan hukum haram hanya berlaku bagi mereka mengenakan busana dengan tujuan kesombongan, walaupun tanpa memanjangkan kain. Karena realitas saat ini kesombongan itu tidak hanya bisa terjadi kepada mereka yang mamakai baju panjang menjuntai, tetapi juga mereka yang memakai gaun mini. Mereka merasa apa yang digunakan adalah gaun yang berkelas, sehingga meremehkan orang lain. Dan inilah hakikat pelarangan tersebut.

Dari sisi lain, mengartikan hadits ini hanya dengan celana cingkrang adalah tidak tepat karena Nabi SAW menyebut hadits itu dengan kata pakaian (tsaub), sementara pakaian tidak hanya celana tetapi juga baju, surban, kerudung dan lainnya. Itulah sebabnya ulama menyatakan bahwa keharaman itu berlaku umum kepada semua jenis pakaian. Ukurannya adalah ketika baju itu dibuat dan dikenakan melebihi ukuran biasa. Dalam Syari’at, demikian ini disebut isbal. Isbal adalah menjuntaikan pakaian hingga ke bawah. Memanjangkan lengan tangan gamis adalah perbuatan yang dilarang karena termasuk isbal yang dilarang dalam hadits. Bahkan Qadhi Iyadh yang menyatakan ”Makruh hukumnya menggunakan semua pakaian yang ukurannya melebihi ukuran yang biasa, baik luas atau panjangnya” (Nailul Awthar, juz II hal 114)

Dari sinilah, maka larangan isbal (memanjangkan pakaian) seharusnya tidak hanya berlaku untuk celana, tetapi semua jenis busana jika di dalam mengenakannya disertai dengan rasa sombong, itu diharamkan. Begitu pula dengan memanjangkan kerudung adalah hal terlarang jika disertai sikap sombong, apalagi merasa dirinya paling beragama. Dengan demikian pakaian yang sudah biasa dikenakan kebanyakan umat islam saat ini baik berupa sarung maupun celana (bagi laki-laki) sampai di bawah mata kaki namun tidak menjuntai ke tanah tidak termasuk yang dilarang oleh agama berdasarkan beberapa penjelasan para ulama di atas.

KEEMPAT : JENGGOT PANJANG

Memelihara jenggot itu sebenarnya termasuk hal yang disunnahkan, berdasarkan beberapa hadits yang kualitas matan dan sanadnya shahih. Tapi perlu diingat bahwa sunnah Nabi SAW ada dua macam :

1. Sunnah Pokok, yaitu sunnah Nabi yang berkaitan dengan ibadah. Sunnah macam ini wajib diikuti. Dan yang berlawanan dengannya dinamai “Bid’ah” yang “Dlolalah”.

2. Sunnah Tambahan, yaitu sunnah Nabi yang berkaitan dengan kebiasaan dalam keseharian, seperti pakaian, makanan, minuman, kendaraan dan semua perbuatan yang bermuatan budaya atau tradisi. Mengikuti sunnah yang kedua ini termasuk Fadlilah bukan Faridloh. Dan yang bertentangan dengannya tidak bisa dianggap bid’ah kecuali ada dalil yang shorih. Nah, jenggot itu termasuk sunnah yang kedua bukan yang pertama. Maka orang yang tidak berjenggot tidak bisa dianggap Ahli Bid’ah yang harus diberantas. Dan semua orang sudah tahu bahwa jika suatu perintah memiliki keterkaitan dengan adat, maka itu tidak bisa diartikan dengan wajib. Hukum yang muncul dari perintah itu adalah sunnah atau bahkan mubah.

Sekarang ini, jenggot dijadikan simbol oleh Muslim Radikal yang suka mengkafirkan orang lain, sehingga mereka sering disebut “Golongan Islam Jenggot”. Dan mereka berlebih-lebihan dalam memanjangkan jenggot.

Serangan-serangan itu sebenarnya sudah berlebihan dan sarat kepentingan. Yang dimaksud itu jenggot yang dipanjangkan secara berlebihan dan simbolisasi radikalisme. Karena berlebihan dalam memanjangkan jenggot ternyata tidak baik menurut empat madzhab kecuali madzhab Hanbali. Perhatikan dalil-dalil berikut :

عن أبي زرعة رحمه الله أنه قال : كان أبو هريرة يقبض على لحيته ثم يأخذ ما فَضُل منها

Dari Abi Zur’ah RA dia berkata : “Abu Hurairah menggenggam jenggotnya, kemudian memotong rambut jenggot yang lebih dari segenggaman”.

Maka memotong rambut jenggot dari ukuran segenggaman itu adalah hal yang baik dan telah dilakukan oleh Ulama Salaf sejak dari angkatan para sahabat Nabi SAW.

Adapun pendapat yang menganggap bahwa memelihara jenggot itu suatu kewajiban adalah tidak memiliki dasar yang kuat. Al-Halimi dalam kitab Manahij menyatakan bahwa pendapat yang mewajibkan memanjangkan jenggot dan haram mencukurnya adalah pendapat yang lemah. (Hasyiyah Asnal Mathalib, juz V hal 551). Imam Ibn Qasim al-Abbadi menyatakan bahwa pendapat yang menyatakan keharaman mencukur jenggot menyalahi pendapat yang mu’tamad .(Hasyiah Tuhfatul Muhtaj Syarh al-Minhaj, juz IX hal 375)

Ulama madzhab Syafi’i berpendapat bahwa memelihara jenggot dan mencukur kumis adalah sunnah, tidak wajib. Oleh karena itu tidak ada dosa bagi orang yang mencukur jenggotnya. Apalagi bagi seorang yang malah hilang ketampanan, kebersihan dan kewibawaannya ketika ada jenggot di wajahnya. Misalnya apabila seseorang memiliki bentuk wajah yang tidak sesuai jika ditumbuhi jenggot, atau jenggot yang tumbuh hanya sedikit.

Imam Malik memakruhkan jenggot yang dibiarkan panjang sekali. Sebagian ‘ulama yang lain berpendapat bahwa panjang jenggot yang boleh dipelihara adalah segenggaman tangan. Bila ada kelebihannya (lebih dari segenggaman tangan) mesti dipotong. Sebagian lagi memakruhkan memangkas jenggot, kecuali saat haji dan umrah saja (lihat Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, hadits no. 383; dan lihat juga Al-Hafidz Ibnu Hajar, Fath al-Bârî, hadits. No. 5442).

Semoga bermanfaat.

Wallahu A’lam

banner 336x280
Gambar Gravatar
Peneliti Aswaja NU Center Kota Blitar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *