Secara garis besar, para ulama membagi bid’ah menjadi dua, yaitu bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) dan bid’ah madzmumah (bid’ah yang tercela). Dalam hal ini, al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris al-Syafi’i-mujtahid besar dan pendiri madzhab Syafi’i yang diikuti oleh mayoritas Ahlussunnah Wal-Jama’ah di dunia Islam, berkata:
المحدثات ضربان: ما أحدث يخالف كتابا أو سنة أو إجماعا فهو بدعة الضلالة وما أحدث في الخير لا يخالف شيئا من ذلك فهو محدثة غير مذمومة. (الحافظ البيهقي، مناقب الإمام الشافعي، ٤٦٩/1).
“Bid’ah (muhdatsat) ada dua macam; pertama, sesuatu yang baru yang menyalahi al-Qur’an atau Sunnah atau Ijma’, dan itu disebut bid’ah dhalalah (tersesat). Kedua, sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ dan itu disebut bid’ah yang tidak tercela“. (Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i, 1/469).
Al-Imam al-Nawawi juga membagi bid’ah pada dua bagian. Ketika membicarakan masalah bid’ah, dalam kitabnya Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat (3/22), beliau mengatakan:
هي أي البدعة منقسمة إلى حسنة وقبيحة. (الإمام النووي، لهذيب
الأسماء واللغات، ۲۲/۳)
“Bid’ah terbagi menjadi dua, bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah qabihah (buruk)”. (Al-Imam al-Nawaun, Tahdab al-Asma’ wa al-Lughat 3/22).
Bahkan dalam Syarh Shahih Muslim dan Raudhat al-Thalibi, al-Imam al-Nawawi membagi bid’ah tidak hanya menjadi dua bagian. Bahkan beliau juga membagi bid’ah secara lebih rinci, yaitu menjadi lima hukum sesuai dengan alur yang diikuti oleh mayoritas ulama. Pembagian bid’ah menjadi dua, dan bahkan menjadi lima, juga dilakukan oleh al Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani. Dalam kitab Fath al Bari Syarh Shahih al-Bukhari, beliau berkata:
والبدعة أصلها ما أحدث على غير مثال سابق وتطلق في الشرع في مقابل السنة فتكون مذمومة والتحقيق أنها إن كانت مما تندرج تحت مستحسن في الشرع فهي حسنة وإن كانت مما تندرج تحت مستقيح في الشرع فهي مستقبحة وإلا فهي من قسم المباح وقد تنقسم إلى الأحكام الخمسة. (ابن حجر، فتح الباري، ٢٥٣/٤).
“Secara bahasa, bid’ah adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh sebelumnya. Dalam syara’, bid’ah diucapkan sebagai lawan sunnah, sehingga bid’ah itu pasti tercela. Sebenarnya, apabila bid’ah itu masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap baik menurut syara’, maka disebut bid’ah hasanah. Bila masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap buruk menurut syara’, maka disebut bid’ah mustaqbahah (tercela). Bila tidak masuk dalam naungan keduanya, maka menjadi bagian mubah (boleh). Dan bid’ah itu dapat dibagi menjadi lima hukum.” (Fath al-Bari, 4/253)
Pembagian bid’ah menjadi lima juga dilakukan oleh al-Imam Muhammad bin Isma’il al-Amir al Shan’ani, ulama Syiah Zaidiyah yang dikagumi oleh kaum Wahhabi. Dalam kitabnya Subul al-Salam Syarh Bulugh al-Maram, beliau mengatakan:
البدنية لغة: ما عمل على غير مثال سابق، والمراد بها هنا: ما عمل من دون أن يسبق له شرعية من كتاب ولا سنة وقا” قسم العلماء البدعة على خمسة أقسام: واجبة كحفظ العلوم بالتدوين والرد على الملاحدة ياقامة الأدلة، ومندوبة كبناء المدارس، ومباحة كالتوسعة في ألوان الطعام وفاخر الثياب، ومحرمة ومكروهة وهما ظاهران؛ فقوله: «كل بدعة ضلالة» عام مخصوص. (الإمام الأمير
الصنعاني، سبل السلام، ٤٨/٢).
“Bid’ah menurut bahasa adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh sebelumnya. Yang dimaksud bid’ah di sini adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa didahului pengakuan syara’ melalui al-Qur’an dan Sunnah. Ulama telah membagi bid’ah menjadi lima bagian: 1) bid’ah wajib seperti memelihara ilmu-ilmu agama dengan membukukannya dan menolak terhadap kelompok-kelompok sesat dengan menegakkan dalil-dalil, 2) bid’ah mandubah seperti membangun madrasah-madrasah, 3) bid’ah mubahah seperti menjamah makanan yang bermacam-macam dan baju yang indah, 4) bid’ah muharramah dan 5) bid’ah makruhah, dan keduanya sudah jelas contoh-contohnya Jadi hadits “semua bid’ah itu sesat”, adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya.” (Al-Imam al-Amir al-Shan’am, Subhal al-Salam, 2/48).
Al-Imam Muhammad bin Ali al-Syaukani, ulama Syiah Zaidiyah yang dikagumi kaum Wahhabi, juga membagi bid’ah menjadi dua, bahkan menjadi lima bagian. Dalam kitabnya Nail al-Authar (3/25) -yang telah diterbitkan dalam bahasa edisi Indonesia oleh kaum Wahhabi-, al-Syaukani mengutip pernyataan al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari tentang pembagian bid’ah tanpa memberinya komentar.
قال في الفتح: البدعة أصلها ما أحدث على غير مثال سابق وتطلق في الشرع على مقابلة السنة فتكون مذمومة والتحقيق أنها إن كانت مما يندرج تحت مستحسن في الشرع فهي حسنة وإن كانت مما يندرج تحت مستقبح في الشرع فهي مستقبحة وإلا فهي من قسم المباح وقد تنقسم إلى الأحكام الخمسة انتهى. (محمد بن علي الشوكاني، نيل الاوطار، ٢٥/٣)
“Al-Hafizh Ibn Hajar berkata dalam Fath al-Bari, “Asal mula bid’ah adalah sesuatu yang dilakukan tanpa ada contoh sebelumnya. Dalam istilah syara’, bid’ah diucapkan sebagai kebalikan sunnah, sehingga bid’ah itu tercela. Sebenarnya, apabila bid’ah itu masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap baik menurut syara’, maka disebut bid’ah hasanah. Bila masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap buruk menurut syara’, maka disebut bid’ah mustaqbahah (tercela). Bila tidak masuk dalam naungan keduanya, maka menjadi bagian mubah (boleh), Dan bid’ah dapat dibagi menjadi lima hukum.‘ (Muhammad bin Ali al-Syaukani, Nail al-Authar, juz 3 hal. 25).
Lebih dari itu, pembagian bid’ah menjadi dua, juga dilegitimasi dan dibenarkan oleh Syaikh Ibn Taimiyah, rujukan paling otoritatif kalangan Salafi (Wahhabi). Dalam hal ini, Syaikh Ibn Taimiyah berkata:
ومن هنا يعرف ضلال من ابتدع طريقا أو اعتقادا زعم أن الايمان لا يتم الا به مع العلم بأن الرسول ﷺ لم يذكره، وما خالف النصوص فهو بدعة باتفاق المسلمين، وما لم يعلم أنه خالفها فقد لا يسمى بدعة، قال الشافعي رحمه الله البدعة بدعتان بدعة خالفت كتابا وسنة وإجماعا وأثرا عن بعض أصحاب رسول اللہ ﷺ فهذه بدعة ضلالة وبدعة لم تخالف شيئا من ذلك فهذه قد تكون حسنة لقول عمر نعمت البدعة هذه هذا الكلام أو نحوه رواه البيهقي باسناده الصحيح في المدخل. (الشيخ ابن تيمية، مجموع الفتاوى ١٦٣/٢٠).
“Dan sini dapat diketahui kesesatan orang yang membuat buat cara atau keyakinan baru, dan ia berasumsi bahwa keimanan tidak akan sempurna tanpa jalan atau keyakinan tersebut, padahal ia mengetahui bahwa Rasulullah tidak pernah menyebutnya. Pandangan yang menyalahi nash adalah bid’ah berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin. Sedangkan pandangan yang tidak diketahu menyalahinya, terkadang tidak dinamakan bid’ah. Al Imam al-Syafi’i berkata, “Bid’ah itu ada dua. Pertama, bid’ah yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan atsar sebagian sahabat Rasulullah Ini disebut bid’ah dhalalah. Kedua, bid’ah yang tidak menyalahi hal tersebut. Ini terkadang disebut bid’ah hasanah, berdasarkan perkataan Umar, “Inilah sebaik-baik bid’ah”. Pernyataan al-Syafi’i ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam kitab al-Madkhal dengan sanad yang shahih.” (Syaikh Ibn Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, juz 20, hal. 163).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa para ulama terkemuka dalam setiap kurun waktu mulai dari al-Imam al-Syafi’i, al-Imam al-Nawawi, al Hafizh Ibn Hajar dan Syaikh Ibn Taimiyah telah membagi bid’ah menjadi dua, yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah madzmumah. Bahkan secara lebih rinci, bid’ah dibagi menjadi lima bagian sesuai dengan komposisi hukum syara’ yang ada. Pembagian tersebut juga diikuti oleh dua ulama Syiah Zaidiyah yang menjadi rujukan kaum Wahhabi, yaitu al-Imam al-Shan’ani dan al-Imam al-Syaukani dalam kedua kitab beliau, yaitu kitab Subul al-Salam Syarh Bulugh al-Maram dan kitab Nail al-Authar min Asrar Muntaqa al-Akhbar