Wahabi Menuduh Hukum Kenduri, Santri NU Menjawab

95 Dilihat
banner 336x280

WAHABI MENUDUH

Ini juga perkataan yang muncul ketika seseorang disanggah mengenai bid’ah yang dia lakukan. Ketika ditanya, “Kenapa kamu masih merayakan 3 hari atau 40 hari setelah kematian?” Dia menjawab, “Ini kan sudah jadi tradisi kami …”. Jawaban seperti ini sama halnya jawaban orang musyrik terdahulu ketika membela kesyirikan yang mereka lakukan. Mereka tidak memiliki argumen yang kuat berdasarkan dalil dari Allah dan Rasul-Nya. Mereka hanya bisa beralasan.

banner 468x60

Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka”. (QS. Az Zukhruf [43] : 22)

Saudaraku yang semoga selalu dirahmati Allah, setiap tradisi itu hukum asalnya boleh dilakukan selama tidak bertentangan dengan hukum syari’at dan selama tidak ada unsur ibadah di dalamnya. Misalnya, santun ketika berbincang-bincang dengan yang lebih tua, ini adalah tradisi yang bagus dan tidak bertentangan dengan syari’at. Namun, jika ada tradisi dzikir atau do’a tertentu pada hari ketiga, ketujuh, atau keempat puluh setelah kematian, maka ini adalah bid’ah karena telah mencampurkan ibadah dalam tradisi dan mengkhususkannya pada waktu tertentu tanpa dalil.

Jadi, bid’ah juga bisa terdapat dalam tradisi (adat) sebagaimana perkataan Asy Syatibi, “Perkara non ibadah (‘adat) yang murni tidak ada unsur ibadah, maka dia bukanlah bid’ah. Namun jika perkara non ibadah tersebut dijadikan ibadah atau diposisikan sebagai ibadah, maka bisa termasuk dalam bid’ah.” (Al I’tishom, 1/348)

SANTRI NU MENJAWAB

Pada saat ulama menyebarkan Islam di Indonesia, di wilayah Indonesia sudah ada kebiasaan (adat) yang isinya adalah ibadah (non-Islam) yang bertentangan dengan syariat Islam. Kebiasaan (adat) ini sudah mengakar dimasyarakat disaat itu, artinya telah menjadi adat masyarakat. Oleh karenanya, ulama yang mendakwah Islam kemudian mengubah hal-hal yang bertentangan dengan syara’ (yaitu yang berisi kemusyrikan) dengan menggantinya berupa amalan-amalan Islami seperti do’a,/ dzikir berjama’ah, permohonan ampun (isighfar), pembacaan al-Qur’an dan dzikir-dzikir lainnya, tanpa mengubah kebiasaan (adat) sehingga tidak lagi bertentangan dengan syariat. Tentunya semua itu bukan tanpa pertimbangan dengan syariat Islam, bahkan hal itu sudah dipertimbangan dan dipantau dengan kaca mata syariat Islam oleh para ulama dengan sangat bijaksana.

Jika kita mengkaji, apa yang menjadi pertimbangan dan kebijaksaan ulama lebih mendalam maka kita akan menemukan banyak hal yang membenarkan hal itu, sebab adat (kebiasaan) itu hukumnya boleh dalam syariat Islam, sesuai kaidah ushul fiqih “ al ‘adatu muhkamatun” adat itu merupakan hukum, dengan catatan bahwa adat tersebut tidak lagi bertentangan dengan Al qur’an dan As sunnah dan juga ijma’ para ulama salaf (terdahulu).

Barangsiapa yang mengadakan dalam islam SUNNAH HASANAH (sunnah yang baik) maka diamalkan orang (dikemudian hari) sunnahnya itu, maka diberikan kepadanya pahala sebagai pahala orang yang mengerjakan tersebut, dengan tidak mengurangi sedikit pun dari pahala orang yang mengerjakan kemudian hari itu Dan Barangsiapa yang mengadakan dalam islam SUNNAH SAYIAH (sunnah yang buruk) maka diamalkan orang (dikemudian hari) sunnah yang buruk itu, maka diberikan kepadanya dosa seperti dosa orang yang mengerjakan tersebut, dengan tidak dikurangi sedikit pun dari dosa orang yang mengerjakan kemudian itu”. (HR. Muslim)

Salah seorang ulama Imam Jalaluddin Abdurrohman As-Suyuthi dalam kitabnya, ”Al-Hawi Li Al-Fatawi“ mengatakan :

Telah berkata Imam Ahmad bin Hambal ra. Didalam kitabnya yang menerangkan tentang kitab zuhud, telah menceritakan kepadaku Hasyim Bin Qosim sambil bekata telah berkata Imam Thowus: sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Alloh swa. Dari kuburan mereka,selama 7 hari, maka DISUNNAHKAN bagi mereka yang masuh hidup mengadakan JAMUAN MAKAN, (sedekah ) untuk orang-orang yang sudah meningal selama hari-hari tersebut “. (Al-Hawi Lil-Fatawi jilid 2 hal 178 )

Sampai kata2: Dari sahabat Ubaid ibn Umair, dia berkata : -sama ujian dalam kubur . Bagi seorang mukmin akan memperoleh ujian selama 7 hari, sedangkan orang munafq akan mendapat ujian selama 40 hari di waktu pagi.

Jika sudah jadi keputusan, atsar (amal sahabat Thowus) diatas hukumnya sama dengan hadits marfu’ Mursal dan sanadnya sampai kepada Tabi’in, itu shoheh, dan telah dijadikan hujjah muthlak (tanpa syarat) bagi 3 Imam , (Malik, Hanaf, Hambali). Untuk Imam Syaf’i, beliau berhujjah dengan hadits mursal jika di bantu/ dilengkapi dengan salah satu ketetapan yang terkait degannya, seperti adanya hadits yang lain atau kesepakatan sahabat. Dan kelengkapan yang dikehendaki oleh Imam Syaf’i itu ada, yaitu hadits serupa riwayat dari Mujahid dan dari Ubaid bin Umair yang keduanya dari golongan tabi’in, meski mereka berdua bukan sahabat.

(Kata2 dari Imam Thowus), mengutip tentang kata2 tabi’in, mereka menyukai melaksanakannya. Dalam hal ini ada2 pendapat, pendapat Ahli Hadits dan Ahli Ushul yang salah satunya termasuk hadits marfu’ maksudnya orang2 di zaman Nabi melaksanakan hal itu, sedang Nabi sendiri tahu dan mengakuinya.

Senada dengan penjelasan diatas, bisa dilihat (Fatawi Kubro juz 1 hal 7, Ahkamul Fuqoha juz 1 hal 16. Atsna al-Matholib juz 1 hal 335 dan Qurrotul Ain, Ismail Zain, hal 91-92).

Disana dipaparkan dengan jelas asal mayit tidak punya tanggungan hutang, dan seizin ahli waris.

Galeri untuk Wahabi Menuduh Hukum Kenduri, Santri NU Menjawab

banner 336x280
Gambar Gravatar
Peneliti Aswaja NU Center Kota Blitar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *