Wahabi Menuduh Tawassul dan Istighosah, Santri NU Menjawab

311 Dilihat
banner 336x280

Wahabi Menuduh
Kelompok wahabi mengatakan, “Seandainya orang yang telah mati dapat dipanggil (diseru), maka panggillah arwah para Nabi dan semua para syuhada serta panglima-panglima perang Islam yang telah wafat untuk datang membantu menumpas orang-orang Yahudi dan Nasrani atau kaum kafrin yang lain, dan buatlah angkatan perang ‘Ghaib’. Seandainya orang yang sudah wafat bisa membantu, maka pasilah arwah orang tua kita yang sudah meninggal akan membantu kita dalam kesulitan mereka pasi akan berusaha sekuat tenaga keluar dari alam barzakh, dan tidaklah mungkin mereka tega melihat anak cucunya menderita. Apakah mungkin orang yang sudah meninggal bisa menolong, bukankah Allah telah berfirman:

Dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberikan pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar.” [QS. Fathir : 22]

banner 468x60

Sumber: http://hanahuwaida.blogspot.com/2011/03/ber-tawassul-kepada-orang-yang-telah.html

Santri NU Menjawab

Pengertian tawassul sebagaimana yang dipahami oleh umat muslim selama ini bahwa tawassul adalah berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui suatu perantara, baik perantara tersebut berupa amal baik kita ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jadi tawassul merupakan pintu dan perantara doa untuk menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tawassul merupakan salah satu cara dalam berdoa.

Wasilah yang digunakan bisa berupa nama dan sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, amal shaleh yang kita lakukan, dzat serta kedudukan para nabi dan orang shaleh, atau bisa juga dengan meminta doa kepada hamba-Nya yang sholeh. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

Dan carilah jalan yang mendekatkan diri ( Wasilah ) kepada-Nya.” (QS.Al-Maidah:35)

Sementara kata “istighotsah”  berasal dari “al-ghouts”  yang berarti pertolongan. Dalam tata bahasa Arab kalimat yang mengikuti pola (wazan) “istaf’ala”  atau “istif’al” menunjukkan arti pemintaan atau pemohonan. Maka isighotsah berarti meminta pertolongan. Seperti kata ghufron  yang berarti ampunan ketika diikutkan pola isif’al menjadi isighfar  yang berarti memohon ampunan. Jadi istighotsah berarti “thalabul ghouts”  atau meminta pertolongan.

Imam Ibnu Katsir salah satu ulama tafsir terkemuka dikalangan salaf wahabi menjelaskan maksud QS. Fathir: 22 diatas dalam
tafsirnya juz 6 hal. 542

Firman Allah sebagaimana ketidaksamaannya berbagai macam perkara yang sudah jelas seperti antara buta dan melihat, keduanya tidak ada kesamaan, tetapi keduanya berbeda sebagaimana perbedaan antara gelap dan terang, teduh dan panas. Demikian halnya ketidaksamaan antara orang-orang yang hidup dan yang mati, dan inilah perumpamaan yang dibuat oleh Allah Ta’ala bagi org2 MUKMIN adalah ORANG-ORANG YANG HIDUP, dan bagi org2 KAFIR adalah ORANG-ORANG YANG MATI.”

Jika QS. Fathir: 22 dipahami sebagai landasan bahwa orang yang sudah meninggal tidak boleh untuk bertawasul kepadanya, sesuai dengan penjelasan Imam Ibnu Katsir diatas maka ayat tersebut SALAH untuk dijadikan HUJJAH oleh salaf wahabi. Inilah akibat menafsirkan Al-Qur’an dengan logikanya sendiri tanpa mau mengambil penjelasan ulama tafsir yang diancam dengan API NERAKA. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sbb:
Dari Ibnu Abbas dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berhati-hatilah berbicara tentang aku kecuali apa yang kamu ketahui, barangsiapa berdusa tentang aku dengan sengaja, maka dia telah mengambil kursi dari api neraka, dan barangsiapa mengatakan tentang Al- Qur’an menurut pendapatnya sendiri, maka dia telah mengambil tempatnya di neraka.” (Abu Isa mengatakan ini adalah hadits hasan)

Selanjutnya Imam Ibnu Katsir menjelaskan tentang QS. An-Nisa: 64 sbb:
Dan kami tidak mengutus seseorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa’: 64)



Dan firman Alloh: {Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang..”} (QS. An-Nisa’: 64) Alloh mengajarkan kepada ahli maksiat dan pelaku dosa ketika sebagian diantara mereka melakukan kesalahan dan kemaksiatan agar mereka datang kepada Rosul Shollallohu ‘alaihi wa sallam dan memohon kpd Alloh disisinya, dan memohon kepada Rosul agar memohonkan ampun kepada Alloh atasnya. Maka apabila melakukan hal itu, niscaya Alloh menerima tobat mereka, merohmatinya dan mengampuninya, karena inilah Alloh berfrman, {tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.”} (QS. An-Nisa’: 64)

Dan telah disebutkan oleh ijma’ ulama sebagian diantara mereka adalah Syeikh Abu Nashir bin Ash-Shobagh dalam kitabnya “Asy-Syamil” tentang cerita yang masyhur tentang Al-‘Utbi dia berkata, “Aku duduk di dekat kubur Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam, maka datanglah seorang arab badui dan berkata, ‘Keselamatan bagimu wahai Rosululloh, aku telah mendengar bhw Alloh berfrman, {Dan kami tidak mengutus seseorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.} (QS. An-Nisa’: 64) Sungguh aku telah mendatangimu unt memohon ampunan atas dosa-dosaku dan memohon syafa’at darimu dari Tuhanku, kemudian dia bersyair: ‘Wahai org yang terbaik dan agung yang telah dikubur…, beruntunglah org yang membawa kebersihan di dalam kuburnya…, diriku sebagai tebusan (pengganti) untuk kubur yang engkau tempati…, di dalamnya terdapat kesucian, kedermawanan dan kemuliaan…..’ setelah itu org arab badui pergi. Maka tibalah rasa kantukku (Al-‘Utbi – pen) dan tertidur, di dalam mimpiku Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam berkata, “Wahai Utbi, arab badui benar, maka berilah kabar gembira kepadanya krn Alloh telah mengampuninya.” (Hikayat ini disebutkan oleh Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ juz 8 hal. 217 / Al-Idhoh hal. 498.

Dan ada tambahan dua bait syair mengikutinya yaitu, “Engkaulah pemberi syafa’at yang diharapkan syafa’atnya…, diatas shiroth saat kaki melangkah…, dan unt kedua sahabatmu yang tidak aku lupakan selamanya…, salam dariku untukmu selama catatan masih berlaku.”)

DALAM KITAB “AD-DUROR AS-SANIYAH FI RODD AL-WAHABIYAH” HAL. 3 SAYID AHMAD BIN ZAINI DAHLAN MENJELASKAN
Ketahuilah, semoga Alloh merohmatimu, sesungguhnya berziarah ke kubur Nabi kita Shollallohu ‘alaihi wa sallam adalah disyari’atkan dan diharapkan di dalam al-Kitab dan as-Sunnah serta ijma’ umat. Adapun kitab al-Qur’an sebagaimana firman Alloh Ta’ala: {Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang..”} (QS. An-Nisa’: 64) Ayat ini menunjukkan perintah buat umat agar mendatangi Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam dan memohon ampun disisinya serta memohon agar Rosul memohonkan ampun kepada mereka. Dan ini tidak terputus [keharusannya] sebab telah wafatnya Rosululloh.

Kesimpulan

Orang yang bertawassul dalam berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan perantaraan berupa sesuatu yang dicintai-Nya dan dengan berkeyakinan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala juga mencintai perantaraan tersebut. Orang yang bertawassul tidak boleh berkeyakinan bahwa perantaranya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala bisa memberi manfaat dan madlarat kepadanya. Jika ia berkeyakinan bahwa sesuatu yang dijadikan perantaraan menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala itu bisa memberi manfaat dan madlarat, maka dia telah melakukan perbuatan syirik, karena yang bisa memberi manfaat dan madlarat sesungguhnya hanyalah Allah Subhanahu wa Ta’ala semata.

Jadi kami tegaskan kembali bahwa sejatinya tawassul adalah berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui suatu perantara, baik perantara tersebut berupa amal baik kita ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tawassul hanyalah merupakan pintu dan perantara dalam berdoa untuk menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka tawassul bukanlah termasuk syirik karena orang yang bertawasul meyakini bahwa hanya Allah-lah yang akan mengabulkan semua doa.

Wallohu A’lam bish-Showab

Galeri untuk Wahabi Menuduh Tawassul dan Istighosah, Santri NU Menjawab

banner 336x280
Gambar Gravatar
Peneliti Aswaja NU Center Kota Blitar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *