Menguak Kelompok Anti Bid’ah Hasanah dan Dalilnya

44 Dilihat
banner 336x280

Sebelum menyajikan dalil-dalil bid’ah hasanah, di sini kami akan mengupas terlebih dahulu hadits yang dijadikan dasar oleh kaum Wahhabi untuk menolak bid’ah hasanah. Yaitu hadits yang berbunyi:

عن جابر بن عبد الله ﷺ قال قال رسول الله ﷺ: إن خير الحديث كتاب الله وخير الهدي هدى محمد وشر الأمور محدثاتها وكل بدعة ضلالة. (رواه مسلم).

banner 468x60

Jabir bin Abdullah berkata, “Rasulullah bersabda: “Sebaik-baik upcapan adalah kitab Allah. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Sejelek-jelek perkara, adalah perkara yang baru. Dan setiap bid’ah itu kesesatan.” (HR. Muslim).

Menurut kelompok ini, hadits di atas sangat tegas mengatakan bahwa semua bid’ah itu kesesatan. Dalam hal ini, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin, ulama Wahhabi kontemporer berkata dalam kitabnya al-Ibda’ fi Kamal al-Syar’i wa Khathar al-Ibtida’ (kreasi tentang kesempurnaan syara’ dan bahayanya bid’ah):

قوله (كل بدعة ضلالة كلية، عامة، شاملة، مسورة بأقوى أدوات الشمول والعموم (كل، أفبعد هذه الكلية يصح أن نقسم البدعة

إلى القسام ثلاثة، أو إلى أقسام خمسة؟ أبدا هذا لا يصح العثيمين، الإبداع في كمال الشرع وخطر الابتداع، ص/۱۳).

Hadits “Semua bid’ah adalah sesat”, bersifat general, umum, menyeluruh (tanpa terkecuali) dan dipagari dengan kata yang menunjuk pada arti menyeluruh dan umum yang paling kuat yaitu kata-kata “kull (seluruh)”. Apakah setelah ketetapan menyeluruh mu, kita dibenarkan membagi bid’ah menjadi tiga bagian, atau menjadi lima bagian? Selamanya, ini tidak akan pernah benar.” (Muhammad bin Shahih al-‘Ulsaman, al-Ibda’ fi Kamal al-Syar’i wa Khathar al-Ibtida’, hal. 13).

Pernyataan al-‘Utsaimin ini memberikan pengertian bahwa hadits “semua bid’ah adalah sesat”, bersifat general, umum dan menyeluruh terhadap seluruh jenis bid’ah, tanpa terkecuali, sehingga tidak ada satu pun bid’ah yang boleh disebut bid’ah hasanah, apalagi disebut bid’ah mandubah yang mendatangkan pahala bagi pelakunya. Alasan utama al-‘Utsaimin menolak pembagian bid’ah, adalah adanya kosa kata “kullu” dalam redaksi hadits di atas, yang berarti semua. Pertanyaannya sekarang adalah, benarkah kosa kata “kullu” dalam hadits di atas menolak pembagian bid’ah?

Penolakan pembagian bid’ah menjadi dua atau lima bagian berdasarkan hadits di atas, masih perlu dipertimbangkan. Karena tidak semua kosa kata “kullu” dalam al-Qur’an dan hadits, bermakna menyeluruh tanpa memiliki pengecualian dan pembatasan Dalam hal ini, Syaikh al-Utsaimin sendiri misalnya berkata:

ان مثل هذا التغير وكل شيء) عالم قد يراد به الخاص، مثل قوله تعالى عن ملكة سنا: (وأوتيت من كل شيء)، وقد خرج شيء كثير لم يدخل في ملكها منه شيء مثل ملك سليمان، والشيخ العثيمين شرح العقيدة الواسطية، ص/336).

Redaksi seperti “kullu syay’in (segala sesuatu)” adalah kalimat general yang terkadang dimaksudkan pada makna yang terbatas, seperti firman Allah tentang Ratu Saba’: “Ia dikarunia segala sesuatu”. (QS. al-Naml 23) Padahal banyak sekali sesuatu yang tidak masuk dalam kekuasaannya, seperti kerajaan Nabi Sulaiman (Al-Utsamman, Syarh al-Aqidah al-Wasithiyyah, hal. 336)

Dalam pernyataan di atas, Syaikh al-‘Utsaimin mengakui bahwa tidak semua kata “kullu” dalam teks al-Qur’an dan hadits bermakna general (‘am), tetapi ada yang bermakna terbatas (khash). Di sisi lain, ketika dihadapkan dengan sekian banyak persoalan baru yang harus diakui, Syaikh al ‘Utsaimin juga terjebak dalam pembagian bid’ah menjadi beberapa bagian. Dalam hal ini, Syaikh al-Utsaimin berkata:

الأصل في أمور الدنيا الحل، فما ابتدع منها فهو حلال، إلا أن

بذل الدليل على تحريمه، لكن أمور الدين الأصل فيها الخطر، فما الكتاب والسنة على من البدع منها فهو حرام بدعة، إلا بدليل مشروعيته (العثيمين، شرح العقيدة الواسطية، ص/٦٣٩ – ٦٤٠)

Hukum asal perbuatan baru dalam urusan-urusan dunia adalah halal Jadi, bid’ah dalam urusan-urusan dunia itu halal, kecuali ada dalil menunjukkan keharamannya. Tetapi hukum asal perbuatan baru dalam urusan-urusan agama adalah dilarang. Jadi, berbuat bid’ah dalam urusan-urusan agama adalah haram dan bid’ah, kecuali ada dalil dari al-Kitab dan Sunnah yang menunjukkan keberlakuannya.” (Al-Utsamin, Syarh al-Aqidah al-Wasithiyyah, hal. 639-640).

Pernyataan al-‘Utsaimin ini membatalkan tesis sebelumnya, bahwa semua bid’ah secara keseluruhan itu sesat, dan sesat itu tempatnya di neraka. Namun kemudian, di sini al-‘Utsaimin membatalkannya dengan menyatakan bahwa “bid’ah dalam urusan dunia, halal semua, kecuali ada dalil yang melarangnya. Bid’ah dalam urusan agama, haram dan bid’ah semua, kecuali ada dalil yang membenarkannya.” Dengan klasifikasi bid’ah menjadi dua (versi al-Utsaimin), yaitu bid’ah dalam hal dunia dan bid’ah dalam hal agama, dan memberi pengecualian dalam masing-masing bagian. menjadi bukti bahwa al-‘Utsaimin tidak konsisten dengan pernyataan awalnya (tidak ada pembagian dalam bid’ah).

Dalam bagian lain, al-‘Utsaimin juga menyatakan:

 ومن القواعد المقررة أن الوسائل لها أحكام المقاصد، فوسائل المشروع مشروعة ووسائل غير المشروع غير مشروعة بل وسائل المحرم حرام، فالمدارس وتصنيف العلم وتأليف الكتب وإن كان بدعة لم يوجد في عهد النبي ﷺ على هذا الوجه إلا أنه ليس مقصدا بل هو وسيلة والوسائل لها أحكام المقاصد، ولهذا لو بني شخص مدرسة لتعليم علم محرم كان البناء حراما ولو بنى مدرسة لتعليم علم شرعي كان البناء مشروعا. (العثيمين، الإبداع في كمال الشرع وخطر الابتداع، ص/۱۸-۱۹).

“Di antara kaedah yang ditetapkan adalah bahwa perantara itu mengikuti hukum tujuannya. Jadi perantara tujuan yang disyariatkan, juga disyariatkan. Perantara tujuan yang tidak disyariatkan, juga tidak disyariatkan. Bahkan perantara tujuan yang diharamkan juga diharamkan. Karena itu, pembangunan madrasah-madrasah, penyusunan ilmu pengetahuan dan kitab-kitab, meskipun bid’ah yang belum pernah ada pada masa Rasulullah dalam bentuk seperti ini, namun ia bukan tujuan, melainkan hanya perantara, sedangkan hukum perantara mengikuti hukum tujuannya. Oleh karena itu, bila seorang membangun madrasah untuk mengajarkan ilmu yang diharamkan, maka membangunnya dihukumi haram. Bila ia membangun madrasah untuk mengajarkan syariat, maka membangunnya disyariatkan.” (Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, al-Ibda’ fi Kamal al-Syar’ wa Khathar al-Ibtida’, hal. 18-19).

Dalam pernyataan ini al-Utsaimin juga membatalkan tesis yang diambil sebelumnya. Pada awalnya dia mengatakan, bahwa semua bid’ah secara keseluruhan, tanpa terkecuali adalah sesat, dan sesat tempatnya di neraka, dan tidak akan pernah benar membagi bid’ah menjadi tiga apalagi menjadi lima. Kini, al “Utsaimin telah menyatakan, bahwa membangun madrasah, menyusun ilmu dan mengarang kitab itu bid’ah yang belum pernah ada pada masa Rasulullah, namun hal ini bid’ah yang belum tentu sesat, belum tentu ke neraka, bahkan hukum bid’ah dalam soal ini terbagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan hukum tujuannya.

Oleh karena demikian, para ulama ahli hadits dan ahli fiqih berpandangan bahwa hadits “semua bid’ah itu sesat”, adalah kata-kata general (‘am) yang maknanya terbatas (khash). Dalam hal ini al-Imam al-Hafizh al-Nawawi menyatakan:

قوله * وكل بدعة ضلالة هذا عام مخصوص والمراد غالب

البدع. (الإمام الحافظ النووي، شرح صحيح مسلم، 154/6).

Sabda Nabi, “semua bid’ah adalah sesat”, ini adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Maksud “semua bid’ah itu sesat”, adalah sebagian besar bid’ah itu sesat, bukan seluruhnya.” (al-Imam al-Nawawi, Syarh) Shahih Muslim, 6/154)

Oleh karena hadits “semua bid’ah itu sesat”, adalah redaksi general yang maknanya terbatas, maka para ulama membagi bid’ah menjadi dua, bid’ah hasamah (baik) dan bid’ah sayyi’ah (buruk) Lebih rinci lagi. bid’ah itu terbagi menjadi lima bagian sesuai dengan komposisi hukum Islam yang lima; wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah. Berikut ini akan dikemukakan beberapa dalil tentang adanya bid’ah hasanah, dan bahwa tidak semua bid’ah itu sesat dan tercela.

Terdapat dalil-dalil lebih lanjut bahwa bid’ah dibagi menjadi dua, yakni dalil-dalil bid’ah hasanah pada masa Rasulullah dan dalil-dalil bid’ah hasanah sesudah Nabi wafat.

banner 336x280
Gambar Gravatar
Peneliti Aswaja NU Center Kota Blitar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *